Beberapa Permasalahan dan Solusi Perekonomian Indonesia
Pendahuluan.
Selama tiga tahun dari 2005, 2006, dan 2007 perekonomian
Indonesia tumbuh cukup signifikan (rata-rata di atas 6%), menjadikan Indonesia
saat ini secara ekonomi cukup dipertimbangkan oleh perekonomian dunia. Hal ini
dapat dilihat dengan diundangnya Indonesia ke pertemuan kelompok 8-plus
(G8plus) di Kyoto Jepang pada bulan Juli 2008 bersama beberapa negara yang
disebut BRICS (Brasil, Rusia, India, dan South Africa). Pada tahun 2008
pendapatan per kapita Indonesia sudah meliwati US$ 2.000, bahkan pada tahun
2009, GDP Indonesia ditetapkan di atas angka 5.000 triliun Rupiah atau setara
dengan US$ 555 milyar. Angka-angka ini cukup mendukung estimasi bahwa pada
tahun 2015 Indonesia sudah menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia dengan GDP
di atas US$ 1 triliun. Namun masih banyak hambatan yang dihadapi oleh
perekonomian Indonesia untuk menuju kesana, misalnya; kondisi infrastruktur
perekonomian (seperti jalan, jembatan, pelabuhan dan listrik), tingginya angka
pengangguran (kisaran 9%), tingginya inflasi yang disebabkan oleh meningkatnya
harga energi dunia (sudah menyentuh 11,,%), belum optimalnya kedatangan FDI ke
Indonesia, belum optimalnya peranan APBN sebagai stimulus ekonomi (belum
ekspansif).Beberapa permasalahan ekonomi Indonesia.Beberapa permasalahan
ekonomi Indonesia yang masih muncul saat ini dijadikan fokus program ekonomi 2008-2009
yang tertuang dalam Inpres Nomor 5 tahun 2008 yang memuat berbagai kebijakan
ekonomi yang menjadi target pemerintah yang dapat dikelompokkan ke dalam 8
bidang yaitu: (i) investasi, (ii) ekonomi makro dan keuangan, (iii) ketahanan
energi, (iv) sumber daya alam, lingkungan dan pertanian, (v) pemberdayaan usaha
mikro kecil dan menengah (UMKM), (vi) pelaksanaan komitmen masyarakat ekonomi
ASEAN, (vii) infrastruktur, dan (viii) ketenagakerjaan dan
ketransmigrasian.Analisis singkat atas kondisi ke-delapan bidang yang menjadi
paket kebijakan ekonomi tahun 2008-2009 adalah sebagaimana berikut ini:[2]
1. Iklim investasi.
Realisasi investasi yang telah dikeluarkan oleh BKPM
berdasarkan Izin Usaha Tetap PMDN pada periode 1 Januari s/d 31 Desember 2007
sebanyak 159 proyek dengan nilai realisasi investasi sebesar Rp. 34.878,7
miliar (34,88 triliun Rupiah). Sedangkan realisasi Investasi yang telah
dikeluarkan oleh BKPM berdasarkan Izin Usaha Tetap PMA (FDI) pada periode 1
Januari s/d 31 Desember 2007 sebanyak 983 proyek dengan nilai realisasi
investasi sebesar US$. 10.349,6 juta (US$ 10,34 milyar).Dibandingkan dengan FDI
global yang selama 2007 mencapai rekor sebesar US$ 1.500 milyar dan FDI yang
masuk ke Amerika Serikat sebesar US$ 193 miliar, nilai FDI yang masuk ke
Indonesia masih sangat rendah yaitu 0,66% terhadap FDI dunia dan 5,18% terhadap
FDI ke Amerika Serikat. Walau demikian, masuknya FDI ke Indonesia pada tahun
2007 ini jauh lebih baik dibandingkan dengan masa puncak pra krisis yaitu tahun
1996-1997 yang hanya mencapai US$ 2,98 miliar (1996) dan US$ 4,67 miliar
(1997).Menurut hemat penulis realisasi FDI ke Indonesia akan dapat lebih
meningkat kalau dua faktor kunci untuk masuknya FDI dibenahi yaitu kondisi
infrastruktur, dan masalah birokrasi yang bertele-tele.
2. Kebijakan ekonomi makro dan keuangan
Dari sisi fiskal, pemerintah menerapkan APBN yang cukup baik
yaitu dengan sedikit ekspansif walau masih sangat berhati-hati. Hal ini
terlihat dari defisit RAPBN tahun 2009 sebesar Rp 99,6 triliun atau 1,9 persen
dari PDB (Kompas 15 Agustus 2008), walau defisit APBN masih dapat ditolerir
sampai angka 3% (berdasarkan golden rule)[3] . Pada tahun 2009 anggaran yang digunakan untuk belanja
modal tercatat sebesar Rp 90,7 triliun lebih besar dari belanja barang sebesar
Rp 76,4 triliun (Kompas 15 Agustus 2008). Total belanja pemerintah pada tahun
2009 meningkat menjadi sebesar Rp1.022,6 triliun yang diharapkan lebih berperan
dalam menstimulus ekonomi untuk mencapai target pertumbuhan di atas 6,5%.
Pemerintah juga pada tahun 2009 berencana untuk memberikan empat macam insentif
fiskal yaitu (i) Pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) Badan
dalam jumlah dan waktu tertentu kepada investor yang merupakan industri pionir.
(ii) Keringanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), khususnya untuk bidang usaha
tertentu pada wilayah atau kawasan tertentu. (iii) Pembebasan atau penangguhan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas impor barang modal atau mesin serta
peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri
selama jangka waktu tertentu. (iv) Pemerintah mengubah perlakuan PPN atas
sebagian barang kena pajak yang bersifat strategis dari yang semula dibebaskan
menjadi tidak dipungut atau ditanggung pemerintah.Dari sisi moneter, Bank
Indonesia dengan instrument BI-rate cukup berhasil untuk mengendalikan inflasi,
khususnya core inflation sejak BI rate diterapkan pada tahun 2005. Namun
inflasi yang disebabkan oleh adanya kenaikan harga energi dan terganggunya
masalah distribusi terutama akibat naiknya harga gas, premium, solar, dan
makanan (volatile food)[4] membuat
tahun 2008 ini tingkat inflasi cukup tinggi yaitu untuk Januari-Agustus 2008
tercatat 9,4 persen, dan inflasi Agustus 2007-Agustus 2008 mencapai 11,85
persen.Menghadap hal ini BI melakukan antisipasi dengan menaikan BI rate pada
bulan-bulan terakhir sampai September 2008, dan saat ini BI rate sudah mencapai
9,25%. Tingginya BI rate ini memang diharapkan dapat menekan angka inflasi
namun disisi lain akan berpengaruh terhadap sektor riil karena kenaikan BI rate
berakibat terhadap peningkatan tingkat bunga pinjaman di bank-bank komersial.
3. Ketahanan energi.
Sebagaimana kita ketahui bahwa harga energi dunia terus
berfluktuasi dan sangat sulit untuk diprediksi. Pada tahun 2008 harga minyak
dunia bahkan sudah mencapai rekor tertinggi sebesar US$ 147 per barel pada 11
Juni lalu. Walau saat ini menurun pada kisaran US$ 106, bahkan hari ini tanggal
10 September 2008 harga minyak telah turun dibawah US$ 100 detik.com). Hal ini sangat
berbahaya bagi ketahanan energi nasional karena kita tahu bahwa ,sebagai input,
naiknya harga energi akan berdampak terhadap kenaikan biaya produksi dan harga
jual. Disamping kenaikan biaya produksi dan harga jual akan mengurangi daya
saing produk Indonesia di pasar internasional apalagi pada saat ini sedang
terjadi penurunnya daya beli masyarakat internasional akibat inflasi yang
meningkat hampir disemua negara tujuan utama ekspor Indonesia yaitu Amerika
Serikat, Negara Eropa (EU), dan Asia Timur (Jepang, Korea Selatan dan China).
Dalam rangka ketahanan energi ini, pemerintah melakukan diversifikasi energi
dengan misalnya memproduksi bio-fuel yang merupakan pencampuran produk fosil
dengan nabati (minyak kelapa sawit). Namun muncul kendala program ini karena
saat ini harga komoditi yang menggunakan bahan baku kelapa sawit mengalami
kenaikan yang luar biasa yaitu Crude Palm Oil (CPO). Akibatnya, produsen kelapa
sawit menjadi gamang dalam menggunakan kelapa sawit apakah untuk digunakan
sebagai bio energy atau untuk menghasilkan CPO yang ditujukan untuk ekspor.
Beberapa pengamat mengatakan sebaiknya Indonesia lebih mengembangkan energy
geothermal (panas bumi) yang cadangannya sangat berlimpah di Indonesia
(terbesar di dunia) karena biaya investasi yang mahal untuk investasi energi
pada geothermal ini akan di offset oleh turunnya subsidi pemerintah untuk bahan
bakar minyak karena adanya peralihan penggunaan energi dari minyak ke
geothermal.
4. Kebijakan sumber daya alam, lingkungan dan pertanian
Indonesia beruntung memiliki sumber daya alam yang melimpah
baik bahan tambang, hutan, pertanian, hasil laut, dan cahaya matahari yang
sepanjang tahun. Untuk itu, sumber daya alam yang ada harus dikelola dengan
baik bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan ekonomi
rakyat (welfare). Sejauh ini Indonesia telah memanfaatkan banyak bahan tambang
bagi pertumbuhan ekonomi seperti minyak bumi, batubara, gas, bijih besi, emas,
nikel, timah dan lain sebagainya. Namun pemanfaatan sumber daya alam ini
membawa dampak negatif (negative externalities) terhadap lingkungan berupa
penggundulan hutan penghancuran bukit-bukit yang tentunya berdampak sangat
negatif terhadap kondisi lingkungan. Disisi pertanian, walau banyak kemajuan
yang dicatat Indonesia masih mengimpor beras, dan produk pertanian lain seperti
kedele, dan hasil perkebunan (gula). Ditargetkan pada tahun 2009, Indonesia
sudah dapat berswasembada beras dan gula.
5. Pemberdayaan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) ini merupakan
sektor ekonomi yang cukup tangguh terutama pada saat krisis ekonomi 1998 dimana
banyak pelaku ekonomi besar bertumbangan. Beberapa program yang akan diterapkan
oleh pemerintah menyangkut pengembangan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM)
ini adalah peningkatan akses UMKM pada sumber pembiayaan dengan (i)
Meningkatkan kapasitas kelembagaan dan akses UMKM pada sumber pembiayaan. (ii)
Memperkuat sistem penjaminan kredit bagi UMKM. (iii) Mengoptimalkan
pe-manfaatan dana non perbankan untuk pemberdayaan UMKM. Disamping itu akan
dilakukan juga pengembangan kewirausahaan dan sumber daya manusia (SDM) dengan
(i) Meningkatkan mobilitas dan kualitas SDM. (ii) Mendorong tumbuhnya
kewira-usahaan yang berbasis teknologi. Hal lainnya adalah peningkatan peluang pasar
produk UMKM dengan (i) Mendorong berkembangnya institusi promosi dan kreasi
produk UMKM. (ii) Mendorong berkembangnya pasar tradisional dan tata hubungan
dagang antar pelaku pasar yang berbasis kemitraan. (iii) Mengembangkan sistem
informasi angkutan kapal untuk UMKM. (iv) Mengembangkan sinergitas pasar.
Terakhir adalah reformasi regulasi dengan (i) Menyediakan insentif perpajakan
untuk UMKM. (ii) Menyusun kebijakan di bidang UMKM.
6. Pelaksanaan komitmen masyarakat ekonomi ASEAN.
Sebagai anggota penting ASEAN Indonesia berkomitmen untuk
melaksanakan program yang telah ditetapkan oleh organisasi yaitu pelaksanaan
komitmen Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community - AEC). Beberapa
langkah ke depan adalah (i) Komitmen AEC untuk Arus Barang Secara Bebas (ii)
Komitmen AEC untuk Arus Jasa
Secara Bebas (iii) Komitmen AEC untuk Arus Penanaman modal
Secara Bebas (iv) Komitmen AEC untuk Arus Modal Secara Bebas (v) Komitmen AEC
untuk Arus Tenaga
Kerja Terampil Secara Bebas (vi) Komitmen AEC untuk Perdagangan
Makanan, Pertanian, dan Kehutanan (vii) Komitmen AEC untuk Menuju Kawasan
Ekonomi Yang Kompetitif (viii) Sosialisasi Pelaksanaan Komitmen Masyarakat
Ekonomi ASEAN 2015
7. Infrastruktur.
Sebagaimana disinggung di depan, kondisi infrastruktur
ekonomi Indonesia berada pada titik yang nadir. Kalau pada masa orde baru,
kondisi infrastruktur Indonesia mengalami titik puncak, seiring dengan
meningkatnya pertumbuhan ekonomi infrastruktur yang ada sudah tidak lagi
memadai. Belum lagi kondisi infrastruktur yang kualitasnya menurun seiring
berjalannya waktu. Banyaknya jalan dan jembatan yang rusak ini tidak terlepas
dari masa-masa sulit APBN kita yang sampai tahun 2004 lebih dikonsentrasikan
kepada pembayaran hutang dan belanja barang dan gaji pegawai. Di tahun 2009,
perlu ditingkatkannya belanja pemerintah untuk keperluan infrastruktur ini
disamping menerapkan KPS (Kerjasama Pemerintah dan Swasta) untuk membangun
jalan, jembatan, pelabuhan, perlistrikan, telekomunikasi dan lain-lain.
8. Ketenagakerjaan dan ketransmigrasian.
Masalah pengangguran di Indonesia masih menjadi masalah
ekonomi utama yang sampai saat ini belum bisa diatasi. Sampai tahun 2008,
tingkat pengangguran terbuka masih berada pada kisaran 9% dari jumlah angkatan
kerja atau berada pada kisaran 9 juta orang. Sebagaimana kita ketahui, bahwa
terjadi perubahan patern perekonomian paska krisis dari usaha yang padat karya
ke usaha yang lebih padat modal. Akibatnya pertumbuhan tenaga kerja yang ada
sejak tahun 1998 s/d 2004 terakumulasi dalam meningkatnya angka pengangguran.
Dilain sisi, pertumbuhan tingkat tenaga kerja ini tidak diikuti dengan
pertumbuhan usaha (investasi) yang dapat menyerap keberadaannya. Akibatnya
terjadi peningkatan jumlah pengangguran di Indonesia yang pada puncaknya di
tahun 2004 mencapai tingkat 10% atau sekitar 11 juta orang. Untuk menangani
masalah pengangguran ini pemerintah perlu memberikan fasilitas baik fiskal,
perkreditan, maupun partnership untuk menciptakan usaha yang bersifat padat
karya dalam rangka menyerap kelebihan tenaga kerja yang ada.Menyangkut masalah
ketransmigrasian ada yang berubah pada penanganannya dibandingkan dengan masa
orde baru. Kala itu program transmigrasi berjalan dengan sangat gencar dengan
hasil yang bervariasi. Di satu daerah program transmigrasi berjalan baik tapi
di daerah lain mengalami kegagalan, namun secara keseluruhan program
transmigrasi berjalan lumayan. Paska krisis, program transmigrasi kelihatannya
mati suri atau sudah hampir tidak lagi terdengar gaungnya. Apalagi sejak
berlakunya otonomi daerah dimana kewenangan mengatur daerah diserahkan kepada
pemerintah daerah, termasuk mengatur datangnya penduduk dari luar daerah. Saat
ini tentunya perlu ada koordinasi antara pusat dengan daerah menyangkut masalah
transmigrasi ini.(szk)
Source : http://zekei.blogdetik.com/?p=9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar