Jumat, 20 November 2015

Kasus Pelanggaran Kode Etik Profesi Polisi



PELANGGARAN ETIKA PROFESI POLISI
April 10, 2011
Kasus
KEKERASAN di lingkungan Polri, berbentuk umbar emosi dengan cara memuntahkan 6 peluru oleh anak buah (Briptu Hance) yang mengakibatkan kematian Wakapolwiltabes Semarang AKBP Lilik Purwanto (14/3), kembali mencoreng citra Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kasus ini naga-naganya mustahil bisa terjadi, bila setiap anggota Polri benar-benar melandasi profesinya dengan etika.
Kasus menyedihkan sekaligus memalukan itu, membuktikan betapa mutlak pentingnya profesi polisi dilandasi etika. Langkanya etika dibalik profesi polisi, menyebabkan setiap anggota polisi merasa berhak mengambil jalan pintas untuk melawan perintah atasan, atau menolak mutasi, atau menerapkan diskresinya, dengan cara yang bertentangan dengan etika profesi.
Sumber :
(Novel Ali, dosen FISIP Undip; anggota Komisi Kepolisian Nasional-64)

Pendapat :
        Terkait dengan kasus diatas maka tingkat kesadaran dan kepatuhan anggota Polri atas peraturan Kode Etik Profesi Polri yang mengikat dan berlaku baginya masih relatif rendah, maka meningkatkan komitmen seluruh anggota kepolisian di jajaran Pola Jawa Tengah merupakan hal yang mutlak untuk dilakukan dan terkait dengan masih adanya budaya “ewuh pakewuh”, dalam memeriksa anggota Polri yang diduga melakukan pelanggaran kode etik, maka untuk menghasilkan fungsi Kepolisian yang menjunjung tinggi supremasi hukum tentu perlu didahului dengan pembangunan kultur individu anggota kepolisian, diantarnya seperti membangun mentalitas, perilaku, ethos kerja dan pola pikir setiap anggota kepolisian. Setelah membangun kultur individu anggota kepolisian, maka langkah selanjutnya adalah membangun kultur organisasi kepolisian yaitu sebagai organisasi yang demokratis, menjunjung tinggi supremasi hukum dan menjunjung tinggi HAM.

        Maka kasud ini merupakan kasus Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor  14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Tanpa etika, profesi polisi tidak punya arti, juga tidak punya makna apa-apa, selain menyajikan “wajah kekerasan”. Profesi polisi memang (dan seharusnya selalu) melekat dengan prinsip moral dasar yang disebut etika. Etika profesi polisi, mendorong warga masyarakat penyandang status polisi, memperlakukan orang lain sebagaimana dia memperlakukan diri sendiri.
         
        Etika profesi polisi, seharusnya juga menjiwai setiap sistem, subsistem, kurikulum dan silabi pendidikan serta pelatihan di lingkungan Polri: Secaba, Secapa, Akademi Kepolisian, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, dan berbagai jenjang pendidikan/pelatihan lain di lingkungan Polri.
Kuatnya lembaga dan dominannya kultur Polri yang profesional di atas landasan etika, merupakan prasyarat mutlak pencegahan drama kekerasan di tubuh Polri. Baik antarsesama anggota Polri, maupun antara anggota Polri dan warga masyarakat lain.

        Karenanya, membangun dan mengembangkan polisi yang profesional di atas landasan etika profesi yang mapan dan kuat, merupakan kebutuhan mendesak. Tanpa itu sulit berharap reformasi sistemik, instrumental dan kultur Polri, akan pernah dapat diwujudkan.

Kasus Pelanggaran Kode Etik Profesi Polisi



PELANGGARAN ETIKA PROFESI POLISI
April 10, 2011
Kasus
KEKERASAN di lingkungan Polri, berbentuk umbar emosi dengan cara memuntahkan 6 peluru oleh anak buah (Briptu Hance) yang mengakibatkan kematian Wakapolwiltabes Semarang AKBP Lilik Purwanto (14/3), kembali mencoreng citra Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kasus ini naga-naganya mustahil bisa terjadi, bila setiap anggota Polri benar-benar melandasi profesinya dengan etika.
Kasus menyedihkan sekaligus memalukan itu, membuktikan betapa mutlak pentingnya profesi polisi dilandasi etika. Langkanya etika dibalik profesi polisi, menyebabkan setiap anggota polisi merasa berhak mengambil jalan pintas untuk melawan perintah atasan, atau menolak mutasi, atau menerapkan diskresinya, dengan cara yang bertentangan dengan etika profesi.
Sumber :
(Novel Ali, dosen FISIP Undip; anggota Komisi Kepolisian Nasional-64)

Pendapat :
        Terkait dengan kasus diatas maka tingkat kesadaran dan kepatuhan anggota Polri atas peraturan Kode Etik Profesi Polri yang mengikat dan berlaku baginya masih relatif rendah, maka meningkatkan komitmen seluruh anggota kepolisian di jajaran Pola Jawa Tengah merupakan hal yang mutlak untuk dilakukan dan terkait dengan masih adanya budaya “ewuh pakewuh”, dalam memeriksa anggota Polri yang diduga melakukan pelanggaran kode etik, maka untuk menghasilkan fungsi Kepolisian yang menjunjung tinggi supremasi hukum tentu perlu didahului dengan pembangunan kultur individu anggota kepolisian, diantarnya seperti membangun mentalitas, perilaku, ethos kerja dan pola pikir setiap anggota kepolisian. Setelah membangun kultur individu anggota kepolisian, maka langkah selanjutnya adalah membangun kultur organisasi kepolisian yaitu sebagai organisasi yang demokratis, menjunjung tinggi supremasi hukum dan menjunjung tinggi HAM.

        Maka kasud ini merupakan kasus Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor  14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Tanpa etika, profesi polisi tidak punya arti, juga tidak punya makna apa-apa, selain menyajikan “wajah kekerasan”. Profesi polisi memang (dan seharusnya selalu) melekat dengan prinsip moral dasar yang disebut etika. Etika profesi polisi, mendorong warga masyarakat penyandang status polisi, memperlakukan orang lain sebagaimana dia memperlakukan diri sendiri.
         
        Etika profesi polisi, seharusnya juga menjiwai setiap sistem, subsistem, kurikulum dan silabi pendidikan serta pelatihan di lingkungan Polri: Secaba, Secapa, Akademi Kepolisian, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, dan berbagai jenjang pendidikan/pelatihan lain di lingkungan Polri.
Kuatnya lembaga dan dominannya kultur Polri yang profesional di atas landasan etika, merupakan prasyarat mutlak pencegahan drama kekerasan di tubuh Polri. Baik antarsesama anggota Polri, maupun antara anggota Polri dan warga masyarakat lain.

        Karenanya, membangun dan mengembangkan polisi yang profesional di atas landasan etika profesi yang mapan dan kuat, merupakan kebutuhan mendesak. Tanpa itu sulit berharap reformasi sistemik, instrumental dan kultur Polri, akan pernah dapat diwujudkan.