KETIMPANGAN PEMBANGUNAN DI KABUPATEN
KEEROM (Catatan Realitas Sosial di Keerom)
Keerom berbatasan langsung dengan negara tetangga Papua New
Guinea (PNG). Letaknya tidak jauh dari Kota Jayapura (± 50 km). Arus
transportasi dari dan ke Keerom cukup lancar, kecuali ke beberapa distrik
seperti Waris dan Senggi agak sulit karena jalan kurang bagus. Demikian halnya
dengan distrik terjauh, Touwe harus menggunakan pesawat.
Keerom sebelumnya menjadi bagian dari Kabupaten Jayapura.
Seiring geliat pemekaran daerah di tanah Papua, Keerom menjadi Kabupaten
definitif pada 12 April 2003. Semenjak itu genderang pembangunan ditabuh dan
aktivitas pemerintahan dijalankan demi dan untuk menyejahterakan masyarakat.
Kita selalu mendengar bahwa pemekaran dimaksudkan sebagai
upaya memperpendek birokrasi pelayanan kepada masyarakat. Artinya, dengan
pemekaran diharapkan pelayanan kepada masyarakat dapat terjangkau. Ide dasar
pemekaran sangat mulia, tetapi dalam implementasinya perlu dikritisi bahkan
harus diragukan, karena realitas menunjukkan bahwa setelah pemekaran, pelayanan
kepada masyarakat tetap berjalan di tempat. Terutama orang Asli Papua kurang
mendapat sentuhan pelayanan dan pembangunan.
Situasi ini pun terjadi dan berlangsung di Kabupaten Keerom,
setelah hampir sepuluh tahun dimekarkan, kurang membawa dampak positif bagi
pembangunan masyarakat, khususnya bagi orang Asli Papua, yang berdomisili di
kabupaten ini. Kita menyaksikan bahwa orang Asli Papua justru semakin
termarginal. Lihat saja kehidupan orang Asli Papua, yang berada di pinggiran
pusat pemerintahan Kabupaten Keerom, seperti Kampung Arso dan Workwana, yang
mana masyarakatnya sangat jauh dari kesejahteraan.
Pada waktu yang sama, kita juga dapat menyaksikan situasi
makmur yang dialami oleh warga transmigrasi di Arso 2, Arso Swakarsa, dan
lokasi trans lainnya. Bahkan pembangunan lebih terfokus ke daerah-daerah
transmigrasi, sementara orang Asli Papua diabaikan.
Contoh konkret adalah sarana jalan di Arso 2 ditimbun dengan
baik, bahkan diaspal hingga ke jalur-jalur perumahan warga, sedangkan jalan ke
daerah pemukiman orang Asli Papua rusak parah. Listrik di Arso 2 menyala 24
jam, sedangkan di perkampungan orang Asli Papua belum ada aliran listrik.
Ada banyak contoh ketimpangan pembangunan dan pelayanan di
bidang kesehatan, pendidikan, perekonomian, perumahan dan lainnya yang
memperlihatkan ketidakberpihakan pemerintah terhadap orang Asli Papua. Rupanya
pemerintah lebih berminat melakukan pembangunan dan perbaikan infrastruktur di
daerah perkotaan, yang dikuasai kaum imigran ketimbang melakukan pembangunan di
kampung-kampung yang dihuni oleh orang Asli Papua.
Jika pola pembangunan demikian tidak dibenahi, maka akan
menimbulkan gapyang amat dalam antara orang Asli Papua dengan kaum
imigran. Orang Asli Papua akan melarat di atas tanahnya, sementara kaum imigran
hidup makmur. Jika kesenjangan sosial ini tetap terpelihara dapat dipastikan
bahwa suatu waktu akan terjadi gesekan sosial yang merugikan banyak pihak.
Saya mengalami dan menyaksikan bahwa permasalahan ini
berkaitan dengan itikad baik pemerintah untuk memproteksi orang Asli Papua.
Sampai saat ini, belum ada kebijakan untuk memberikan perlindungan khusus bagi
orang Asli Papua Kabupaten Keerom. Mereka tersisih di tengah gencarnya
pembangunan di Kabupaten Keerom. Kita dapat bertanya: “Pembangunan di Kabupaten
Keerom untuk siapa? Hanya untuk kaum imigran kah? Manakah kekhususan bagi
orang Asli Papua?”
Kita turut prihatin atas ketimpangan
pembangunan dan pelayanan yang kurang seimbang antara orang Asli Papua dengan
kaum imigran. Padahal, pada era otsus Papua, seharusnya orang Asli Papua
mendapat perhatian lebih serius dalam seluruh aspek pelayanan. Bukannya untuk
menciptakan kecemburuan sosial, tetapi demi perlindungan, sebagaimana yang
diamanatkan dalam otsus Papua.
Ke depan, pemerintah Kabupaten Keerom harus memberikan
perhatian lebih serius kepada orang Asli Papua yang hidup di distrik terpencil:
Arso Timur, Waris, Senggi, Web dan Touwe. Pemerintah wajib memperhatikan orang
Asli Papua yang hidup di kampung-kampung terpencil dengan memberikan pelayanan
-secara lebih serius-di bidang pendidikan, kesehatan, perekonomian, perumahan,
air bersih, listrik dan infrastruktur jalan yang memadai.
Analisis :
Untuk Mengatasi masalah Pembangunan Daerah menurut saya
adalah sebagai berikut :
Pertama, strategi pembangunan inklusif yang mengutamakan
keadilan, keseimbangan dan pemerataan. Semua pihak harus dan ikut
berpartisipasi dalam proses pembangunan melalui penciptaan iklim kerja untuk
meningkatkan harkat hidup keluar dari kemiskinan. Seluruh kelompok masyarakat
harus dapat merasakan dan menikmati hasil-hasil pembangunan terutama masyarakat
yang tinggal di kawasan perbatasan, kawasan perdesaan, daerah pedalaman, daerah
tertinggal dan daerah pulau terdepan.
Kedua, strategi pembangunan berdimensi kewilayahan. Strategi
pembangunan wilayah mempertimbangkan kondisi geografis, ketersediaan sumber
daya alam, jaringan infrastruktur, kekuatan sosial budaya dan kapasitas sumber
daya manusia menyebabkan yang tidak sama untuk setiap wilayah.
Ketiga, penyediaan prasarana dan sarana, peningkatan SDM,
pusat-pusat penelitian, pembangkit listrik dan penyediaan air bersih; serta
perbaikan pelayanan sesuai standar pelayanan minimal.
Dalam upaya mendukung percepatan pembangunan wilayah,
kebijakan pembangunan wilayah diarahkan untuk: (1) pengembangan kawasan
strategis dan cepat tumbuh, (2) pengembangan daerah tertinggal, kawasan
perbatasan, dan rawan bencana, (3) pengembangan kawasan perkotaan dan
perdesaan, dan (4) penataan dan pengelolaan pertanahan agar tidak terjadinya
ketimpangan pembangunan daerah.
Kesimpulannya :
Pembangunan daerah menjadi titik acuan bagi majunya bangsa
Indonesia kita, masalah pembangunan daerah harus segera di perhatikan bagi
daerah-daerah yang tertinggal, perbatasan ataupun daerah yang masih kurang
pengembangan di daerahnya, pemerintah harus lebih memperhatikan daerah-daerah
yang masigh terjadi ketimpangan dalam pembangunan daerah dengan mengatasinya
secara nyata dan pasti dengan
memperbaiki atau menciptakan infrastruktur yang baik, sarana dan prasarana yang
memadai serta pembangunan lainnya untuk kemakmuran daerah dan masyarakat
sebagaimana mestinya.
Source :
http://politik.kompasiana.com/2013/04/06/sekelumit-tentang-pembangunan-daerah-tertinggal-548666.html